Siang bangkit dari kehangatan pagi seperti ular raksasa menggeliat dan beranjak untuk memburu bayi-bayi domba.
Matahari yang semula bersahabat mulai memanasi atap-atap
rumah, jalanan, mematuki poripori. Membuat angkot dan bus kota yang sesak kian
sumpek dan bau apek. Mereka yang berada di perkantoran gedung-gedung bertingkat
buru-buru mengendorkan dasi sambil membesarkan volume pendingin ruangan.
Tikus-tikus yang biasanya merubungi tempat sampah menahan diri dan tetap mendekam
di liang got. Dan rumah kardus serta gubuk-gubuk rombeng di tepi kali serasa
sesak napas. Di dalam rumah petak tiga kali tiga meter,
Mahmudin
merasa tersiksa dan sangat celaka.
Sejak tiga bulan terakhir rumah petak itu tidak
ubahnya neraka. Sumpek, menyebalkan, penuh petaka. Beberapa kali Tuan Joher datang
menagih uang kontrakan rumah yang udah telat dua bulan. Awalnya Mahmudin masih
bisa berdalih dengan alasan ini dan itu. Namun belakangan, Joher sulit diajak
kompromi. Bahkan, ketika Mahmudin nenjelaskan kondisi pabrik yang tengah seret
sehingga buruh seperti dirinya cuma dibayar separuh, Joher tidak peduli.
"Saya
nggak mau tahu, pabrik lagi seret, gaji buruh, mampet atau tetek bengek alasan
lain. Yang penting buat saya, Pak Mahmudin harus bayar!"
"Tapi Pak Joher, keadaannya memang begitu. Saya
benar-benar sedang susah. Jangankan buat bayar kontrakan, untuk makan saja
sudah megap-megap. Saya mohon sekali ini saja Pak Joher mau
mengerti.
Kelak kalau keadaan membaik, semua pasti saya lunasi."
"Nggak bisa! Kalau saya turuti yang lain pasti ikut-ikutan
bayar seenaknya. Bisa bangkrut saya."
"Tolonglah, Pak Joher..."
"Sudah, begini saja. Saya beri waktu sepuluh hari
lagi. Kalau belum dibayar juga, silakan Pak Mahmudin angkat kaki dari
sini." Juragan Joher bergegas meninggalkan Mahmudin yang kehabisan kata-kata.
Waktu seperti kuburan yang menggelisahkan. Bagai
dengung lebah, ancaman Joher mengaduk-aduk kepala Mahmudin. Tiga hari lewat,
belum terbayang bagaimana dia bisa mendapatkan uang. Dari mana bisa mendapatkan
uang tiga ratus ribu dalam waktu sependek itu? Dari upah kerja di pabrik? Mana mungkin.
Sejak produksi seret, buruh hanya kerja
paruh
waktu. Sehari bekerja, sehari libur. Praktis, upah yang diterima pun separuh.
Sekadar untuk mengganjal perutnya, ditambah istri dan seorang anak, dan upah itu
pun hanya sanggup bertahan sampai pertengahan bulan. Selebihnya, Mahmudin
mengandalkan upah istrinya, yang sejak tiga bulan terakhir jadi buruh cuci dari
rumah ke rumah.
Lantas, kalau harus pindah? Masih gelap, mau pindah
ke mana? Rumah petak memang banyak. Tapi tanpa duit di tangan, sama saja
mengigau di siang belong. Pikiran Mahmudin mampet. Rumah petak sempit itu
terasa makin sumpek. Siang yang panas seperti rombongan semut api yang
mengerati tiap mili kulit kepalanya. Terlebih jika teringat istrinya, Tini,
yang hamil tujuh bulan. Belakangan Tini sering mengeluh kecapekan. Badannya
ngilu dan pegal-pegal.
Dia
bayangkan istrinya dengan perut menggunung bersimbah peluh mencuci tumpukan
baju. Ah, alangkah biadabnya aku! Mahmudin mengutuk dalam hati. Tapi apa boleh
buat, keadaan sama sekali tidak
memberinya
pilihan.
Mahmudin juga teringat Surindah. Sudah seminggu ini
anaknya yang baru kelas satu SD itu merengek minta mainan, baju seragam baru,
dan buku cerita.
"O...
alah Dah, Surindah. Makan saja sudah susah, kok ribut minta macam-macam. Gimana
sih cuma anaknya Mahmudin buruh kere, kok ingin ikut-ikutan anak orang
kaya," Mahmudin membatin.
Siang kian dalam menikamkan panasnya ke ubun-ubun.
Mahmudin menghirup kopi pahit sisa semalam, menyalakan rokok yang tinggal
sebatang, menyandarkan kepalanya di pinggiran kursi bambu panjang.
Konon, hidup manusia seperti roda. Kadang di atas,
di tengah, sesekali tersuruk ke bawah. Tapi apakah dia masih layak meyakini
pepatah usang itu? Sampai umurnya sekarang hampir genap tiga puluh
tiga,
Mahmudin merasa nasibnya belum pernah berada di atas, meski sekejap. Bapaknya cuma
petani gurem dengan sepetak sawah. Ibu berjualan kue serabi. Lalu malapetaka
itu datang. Ibu menjual
sepetak
tanah itu untuk mengongkosi bapaknya yang terserang paru-paru. Toh, nyawa
bapaknya tidak tertolong. Terpaksa Mahmudin berhenti sekolah sampai kelas dua
SMP.
Ibu tetap
berjualan kue serabi. Mahmudin sendiri jadi buruh macul. Pas untuk makan ala
kadarnya. Namun itu pun tidak lama. Ibu terserang demam berdarah. Tidak sampai
seminggu sakit, sang ibu
meninggal
diiringi lolongan tangis I Mahmudin.
Ketika
dia nekat menjual rumah gedek di atas tanah sembilan puluh meter peninggalan orangtuanya
untuk ongkos ke Bandung, Mahmudin sangat berharap nasibnya berubah. Dia ingin
seperti Kang Bani yang selalu pulang tiap Lebaran. Ada
saja
oleh-oleh Kang Bani dari Bandung. Radio, jam tangan, baju baru, oleh-oleh, dan
barang lainnya yang susah didapat di kampung. Toh, sampai di Bandung Mahmudin
merasa tidak ubahnya seekor coro. Nyungsep sana, nyungsep sini. Pertama datang
jadi kuli angkut di Pasar Kosambi, lalu pindah ke Stasiun Bandung, pindah lagi
ke pasar hingga nasib kemudian mengajaknya ke daerah industri di pinggir selatan
Bandung. Jadi buruh di pabrik kaleng. Di sana, dia bertemu Tini, yang setahun
kemudian melahirkan Surindah.
Roda nasib ternyata tidak berubah. Jangankan berada
di atas, roda itu tidak pernah membawanya sekadar ke tengah. Bahkan, makin lama
roda itu terus menyungsepkannya ke bawah, menggilasnya sampai lumat.
Mahmudin menghela napas. Terbayang wajah Tuan Joher
dengan mata melotot, Surindah yang merengekrengek, Tini yang meringis memegang
perut. Betapa celakanya! Mahmudin mengumpat dalam hati. Dia jadi muak dengan
dirinya sendiri. Makin muak lagi jika ingat orang-orang kaya bisa berseliweran
naik sedan mengilat, ke luar-masuk mal, restoran mewah, atau apalah yang
mewah-mewah zaman sekarang. Ingin rasanya Mahmudin menggedorkan kepalanya ke
tembok. Sekeras-kerasnya. Biar remuk berantakan, biar selesai semua urusan.
Pagi datang dengan wajah pucat. Seperti biasa rumah
petak yang berdesakan mirip gerbong kereta api ekonomi itu ramai oleh derit
pompa air, tangisan bayi, sendok beradu, dan langkah kaki dalam irama tergesa-gesa.
Surindah berangkat ke sekolah
seperempat
jam lalu. Di kamar mandi, Mahmudin bersiul mengikuti lagu dari radio Mas Sarjan
yang disetel keras-keras. Bang SMS siapa ini bang/Bang, pesannya
pakai sayang, sayang/Bang, nampaknya dari
pacar
abang/Bang, hati ini mulai tak tenang....
"Tumben, Kang, kayaknya gembira benar hari ini?"
Tini menyodorkan semangkuk mi rebus.
"Buat apa susah terus-terusan. Toh, susah juga tidak bakal menyelesaikan
masalah." Mahmudin membetulkan
kerah baju, sebelum menerima mangkuk yang
disodorkan Tini.
"Hari ini aku ke pabrik."
"Gimana, Kang? Sudah dapat gambaran buat bayar
kontrakan?"
Mi rebus di mulut tiba-tiba terasa hambar. Mahmudin
berhenti menyendok. Dia menatap wajah Tini. Cemas seperti mayat yang baru masuk
ke liang lahat, menunggu kedatangan malaikat.
"Sudahlah, Tin.
Nggak usah cemas.
Mudah-mudahan
semua beres. Mudah-mudahan sebentar lagi kamu tidak perlu jadi buruh
cuci."
"Apa pabrik sudah mulai lancar? Atau...
janganjangan Kang Mahmudin mau ngerampok atau nyolong? Jangan, Kang!"
"Ah, ada-ada saja kamu. Mana berani aku melakukannya.
Sudahlah, percaya saja sama aku. Berdoa!"
Tini tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia harus
bergegas ke rumah Bu Nuryadi. Kalau telat, bisa gawat. Bisa-bisa dia
dimaki-maki. Lagi pula dia yakin, Mahmudin sekadar berusaha menghibur dirinya
seperti kemarin-kemarin. "Aku berangkat dulu, Kang."
Sepasrah atau seputus asa apa pun, Tini tidak pernah
membayangkan suaminya telah menemukan cara gila untuk mengakhiri penderitaan
mereka. Semalam, ketika listrik padam dan segerobak persoalan menjelma gurita
yang mencekik lehernya, Mahmudin tiba-tiba teringat Iwil, kawannya yang tiga tahun
lalu mengalami kecelakaan. Dua jari tangan kiri Iwil remuk digilas mesin
pabrik. Masih terbayang Iwil meraung kesakitan.
Iwil masuk UGD. Selanjutnya, Mahmudin dan para buruh
lainnya tidak tahu lagi. Para mandor pabrik seolah-olah sengaja merahasiakan
nasib Iwil. Namun menurut kabar yang beredar, Iwil mendapat
ganti
rugi lima juta rupiah dari perusahaan tempatnya bekerja. Terakhir, Mahmudin
mendengar kabar, Iwil membuka usaha wartel di dekat terminal.
"Tiga tahun lalu Iwil dapat lima juta, berarti sekarang
ganti ruginya bisa dua kali lipat, bahkan tiga kali lipat. Alangkah
sedapnya." Mahmudin mengkhayal.
"Tapi, edan, betapa sakitnya."
"Mau
enak kok takut sakit. Mengubah nasib selalu butuh kesakitan dan
pengorbanan," pikirnya.
"Bagaimana kalau Gusti Allah marah karena berkah-Nya
sengaja aku hancurkan."
"Ah, biar saja. Aku sudah muak dengan kemiskinan
dan penderitaan. Muaaak!"
Siang itu deru mesin pabrik laksana lolongan anjing
yang menggedor-gedor telinga Mahmudin. Tekadnya sudah bulat, menggilaskan
jari-jari tangannya ke gerigi mesin. Demi uang kontrakan, demi Surindah, demi
Tini yang sebentar lagi melahirkan jabang bayi.
Mahmudin menatap sejenak gerigi mesin yang bergerak
mirip komidi putar di tanah lapang depan kecamatan. Pandangannya pindah ke
jari-jari tangan kanannya. Basah dan gemetar.
"Apa boleh buat. Inilah saatnya mengubah nasib!"
Dia maju selangkah. Pelan-pelan dia katupkan mata,
seperti terpidana mati di tiang eksekusi menunggu aba-aba sehingga jari-jari
itu kemudian masuk ke gerigi mesin yang berputar.
Langit koyak oleh lolongan Mahmudin. Darah muncrat
ke baju, wajah, dan lantai. Dalam kesakitan tiada terkira itu, Mahmudin sempat
melihat serpihan tulang, daging yang sebagian terbawa putaran mesin. Langit
makin mendung. Gulita tiba-tiba.
Mahmudin mendapati dirinya terbaring di dipan
berseprai. Sekujur badannya nyeri. Tulang-tulang serasa remuk. Tidak ada
siapa-siapa. Tapi Mahmudin tahu, dia berada di kamar rumah sakit. Dia
perhatikan telapak tangan kanannya terbungkus
perban.
Ngilu luar biasa.
"Ah,
hilang empat jari rupanya," Mahmudin mendesah.
"Selamat malam, Pak Mahmudin." Seorang manajer
perempuan masuk membawa seikat bunga yang dibungkus plastik transparan.
"Ibu Suci . . . Selamat malam, Bu."
Mahmudin tergagap.
"Saya atas nama manajemen dan perusahaan turut
prihatin atas musibah ini. Saya berharap dan berdoa, Pak Mahmudin lekas sembuh
dan tabah," kata Ibu Suci setelah mengambil kursi dan duduk di tepi
pembaringan.
"Terima kasih, Bu. Tapi bagaimana nasib saya selanjutnya?"
"Maksud Pak Mahmudin?"
"Ehm, itu Bu, soal ganti rugi empat jari tangan
kanan saya yang tergilas mesin," Mahmudin memberanikan diri.
Ibu Suci terdiam sejenak.
"Begini, sore tadi para manajer mengadakan rapat
sehubungan musibah ini. Keputusannya, dengan sangat menyesal perusahaan hanya
bisa menanggung biaya pengobatan sampai Pak Mahmudin sembuh. Tidak ada ganti
rugi karena perusahaan sedang kesulitan uang. Saya harap Pak Mahmudin mengerti."
"Apa?"
Mendengar kabar itu, pendengaran Mahmudin seperti
ditusuk besi panas. Dia melompat. Ototnya menegang, giginya gemeretak, dada
terasa hendak meledak. Tangan kirinya menyambar bungkus bunga,
lalu
dia lemparkan sekuat tenaga ke wajah Ibu Suci yang berteriak-teriak minta
tolong. Perawat, dokter, dan satpam berdatangan. Mereka berusaha menenangkan
Mahmudin. Namun Mahmudin meronta, meludah, dan memuntahkan segala sumpah serapah,
sampai-sampai dia merasa tenaganya
terkuras
habis. Pandangan berkunang-kunang, lalu gulita. Mahmudin pingsan.
Pada malam itu, bulan di atas rumah sakit tunduk
menutup wajahnya. Mungkinkah dia sedang menangis untuk Mahmudin?
Sumber:
Kilau
Sebuah Cincin, 2006
Oleh:
Edi Warsidi
Cerpen ini bagus juga sebagai bahan bacaan sebab mengisahkan tentang seorang buruh pabrik yang benar-benar dilanda kebimbangan dalam kehidupannya terutama masalah rumah tangganya
BalasHapus