Minggu, 05 Februari 2012

Bulan di Atas Rumah Sakit


Siang bangkit dari kehangatan pagi seperti ular raksasa menggeliat dan beranjak untuk memburu bayi-bayi domba.
Matahari yang semula bersahabat mulai memanasi atap-atap rumah, jalanan, mematuki poripori. Membuat angkot dan bus kota yang sesak kian sumpek dan bau apek. Mereka yang berada di perkantoran gedung-gedung bertingkat buru-buru mengendorkan dasi sambil membesarkan volume pendingin ruangan. Tikus-tikus yang biasanya merubungi tempat sampah menahan diri dan tetap mendekam di liang got. Dan rumah kardus serta gubuk-gubuk rombeng di tepi kali serasa sesak napas. Di dalam rumah petak tiga kali tiga meter,
Mahmudin merasa tersiksa dan sangat celaka.
Sejak tiga bulan terakhir rumah petak itu tidak ubahnya neraka. Sumpek, menyebalkan, penuh petaka. Beberapa kali Tuan Joher datang menagih uang kontrakan rumah yang udah telat dua bulan. Awalnya Mahmudin masih bisa berdalih dengan alasan ini dan itu. Namun belakangan, Joher sulit diajak kompromi. Bahkan, ketika Mahmudin nenjelaskan kondisi pabrik yang tengah seret sehingga buruh seperti dirinya cuma dibayar separuh, Joher tidak peduli.

"Saya nggak mau tahu, pabrik lagi seret, gaji buruh, mampet atau tetek bengek alasan lain. Yang penting buat saya, Pak Mahmudin harus bayar!"
"Tapi Pak Joher, keadaannya memang begitu. Saya benar-benar sedang susah. Jangankan buat bayar kontrakan, untuk makan saja sudah megap-megap. Saya mohon sekali ini saja Pak Joher mau
mengerti. Kelak kalau keadaan membaik, semua pasti saya lunasi."
"Nggak bisa! Kalau saya turuti yang lain pasti ikut-ikutan bayar seenaknya. Bisa bangkrut saya."
"Tolonglah, Pak Joher..."
"Sudah, begini saja. Saya beri waktu sepuluh hari lagi. Kalau belum dibayar juga, silakan Pak Mahmudin angkat kaki dari sini." Juragan Joher bergegas meninggalkan Mahmudin yang kehabisan kata-kata.
Waktu seperti kuburan yang menggelisahkan. Bagai dengung lebah, ancaman Joher mengaduk-aduk kepala Mahmudin. Tiga hari lewat, belum terbayang bagaimana dia bisa mendapatkan uang. Dari mana bisa mendapatkan uang tiga ratus ribu dalam waktu sependek itu? Dari upah kerja di pabrik? Mana mungkin. Sejak produksi seret, buruh hanya kerja
paruh waktu. Sehari bekerja, sehari libur. Praktis, upah yang diterima pun separuh. Sekadar untuk mengganjal perutnya, ditambah istri dan seorang anak, dan upah itu pun hanya sanggup bertahan sampai pertengahan bulan. Selebihnya, Mahmudin mengandalkan upah istrinya, yang sejak tiga bulan terakhir jadi buruh cuci dari rumah ke rumah.
Lantas, kalau harus pindah? Masih gelap, mau pindah ke mana? Rumah petak memang banyak. Tapi tanpa duit di tangan, sama saja mengigau di siang belong. Pikiran Mahmudin mampet. Rumah petak sempit itu terasa makin sumpek. Siang yang panas seperti rombongan semut api yang mengerati tiap mili kulit kepalanya. Terlebih jika teringat istrinya, Tini, yang hamil tujuh bulan. Belakangan Tini sering mengeluh kecapekan. Badannya ngilu dan pegal-pegal.
Dia bayangkan istrinya dengan perut menggunung bersimbah peluh mencuci tumpukan baju. Ah, alangkah biadabnya aku! Mahmudin mengutuk dalam hati. Tapi apa boleh buat, keadaan sama sekali tidak
memberinya pilihan.
Mahmudin juga teringat Surindah. Sudah seminggu ini anaknya yang baru kelas satu SD itu merengek minta mainan, baju seragam baru, dan buku cerita.
"O... alah Dah, Surindah. Makan saja sudah susah, kok ribut minta macam-macam. Gimana sih cuma anaknya Mahmudin buruh kere, kok ingin ikut-ikutan anak orang kaya," Mahmudin membatin.
Siang kian dalam menikamkan panasnya ke ubun-ubun. Mahmudin menghirup kopi pahit sisa semalam, menyalakan rokok yang tinggal sebatang, menyandarkan kepalanya di pinggiran kursi bambu panjang.
Konon, hidup manusia seperti roda. Kadang di atas, di tengah, sesekali tersuruk ke bawah. Tapi apakah dia masih layak meyakini pepatah usang itu? Sampai umurnya sekarang hampir genap tiga puluh
tiga, Mahmudin merasa nasibnya belum pernah berada di atas, meski sekejap. Bapaknya cuma petani gurem dengan sepetak sawah. Ibu berjualan kue serabi. Lalu malapetaka itu datang. Ibu menjual
sepetak tanah itu untuk mengongkosi bapaknya yang terserang paru-paru. Toh, nyawa bapaknya tidak tertolong. Terpaksa Mahmudin berhenti sekolah sampai kelas dua SMP.
 Ibu tetap berjualan kue serabi. Mahmudin sendiri jadi buruh macul. Pas untuk makan ala kadarnya. Namun itu pun tidak lama. Ibu terserang demam berdarah. Tidak sampai seminggu sakit, sang ibu
meninggal diiringi lolongan tangis I Mahmudin.
            Ketika dia nekat menjual rumah gedek di atas tanah sembilan puluh meter peninggalan orangtuanya untuk ongkos ke Bandung, Mahmudin sangat berharap nasibnya berubah. Dia ingin seperti Kang Bani yang selalu pulang tiap Lebaran. Ada
saja oleh-oleh Kang Bani dari Bandung. Radio, jam tangan, baju baru, oleh-oleh, dan barang lainnya yang susah didapat di kampung. Toh, sampai di Bandung Mahmudin merasa tidak ubahnya seekor coro. Nyungsep sana, nyungsep sini. Pertama datang jadi kuli angkut di Pasar Kosambi, lalu pindah ke Stasiun Bandung, pindah lagi ke pasar hingga nasib kemudian mengajaknya ke daerah industri di pinggir selatan Bandung. Jadi buruh di pabrik kaleng. Di sana, dia bertemu Tini, yang setahun kemudian melahirkan Surindah.
Roda nasib ternyata tidak berubah. Jangankan berada di atas, roda itu tidak pernah membawanya sekadar ke tengah. Bahkan, makin lama roda itu terus menyungsepkannya ke bawah, menggilasnya sampai lumat.
Mahmudin menghela napas. Terbayang wajah Tuan Joher dengan mata melotot, Surindah yang merengekrengek, Tini yang meringis memegang perut. Betapa celakanya! Mahmudin mengumpat dalam hati. Dia jadi muak dengan dirinya sendiri. Makin muak lagi jika ingat orang-orang kaya bisa berseliweran naik sedan mengilat, ke luar-masuk mal, restoran mewah, atau apalah yang mewah-mewah zaman sekarang. Ingin rasanya Mahmudin menggedorkan kepalanya ke tembok. Sekeras-kerasnya. Biar remuk berantakan, biar selesai semua urusan.
Pagi datang dengan wajah pucat. Seperti biasa rumah petak yang berdesakan mirip gerbong kereta api ekonomi itu ramai oleh derit pompa air, tangisan bayi, sendok beradu, dan langkah kaki dalam irama tergesa-gesa. Surindah berangkat ke sekolah
seperempat jam lalu. Di kamar mandi, Mahmudin bersiul mengikuti lagu dari radio Mas Sarjan yang disetel keras-keras. Bang SMS siapa ini bang/Bang, pesannya pakai sayang, sayang/Bang, nampaknya dari
pacar abang/Bang, hati ini mulai tak tenang....
"Tumben, Kang, kayaknya gembira benar hari ini?" Tini menyodorkan semangkuk mi rebus.
"Buat apa susah terus-terusan. Toh, susah juga          tidak bakal menyelesaikan masalah." Mahmudin            membetulkan kerah baju, sebelum menerima  mangkuk yang disodorkan Tini.
"Hari ini aku ke pabrik."
"Gimana, Kang? Sudah dapat gambaran buat bayar kontrakan?"
Mi rebus di mulut tiba-tiba terasa hambar. Mahmudin berhenti menyendok. Dia menatap wajah Tini. Cemas seperti mayat yang baru masuk ke liang lahat, menunggu kedatangan malaikat.
"Sudahlah, Tin. Nggak usah cemas.
Mudah-mudahan semua beres. Mudah-mudahan sebentar lagi kamu tidak perlu jadi buruh cuci."
"Apa pabrik sudah mulai lancar? Atau... janganjangan Kang Mahmudin mau ngerampok atau nyolong? Jangan, Kang!"
"Ah, ada-ada saja kamu. Mana berani aku melakukannya. Sudahlah, percaya saja sama aku. Berdoa!"
Tini tidak melanjutkan pertanyaannya. Dia harus bergegas ke rumah Bu Nuryadi. Kalau telat, bisa gawat. Bisa-bisa dia dimaki-maki. Lagi pula dia yakin, Mahmudin sekadar berusaha menghibur dirinya seperti kemarin-kemarin. "Aku berangkat dulu, Kang."
Sepasrah atau seputus asa apa pun, Tini tidak pernah membayangkan suaminya telah menemukan cara gila untuk mengakhiri penderitaan mereka. Semalam, ketika listrik padam dan segerobak persoalan menjelma gurita yang mencekik lehernya, Mahmudin tiba-tiba teringat Iwil, kawannya yang tiga tahun lalu mengalami kecelakaan. Dua jari tangan kiri Iwil remuk digilas mesin pabrik. Masih terbayang Iwil meraung kesakitan.
Iwil masuk UGD. Selanjutnya, Mahmudin dan para buruh lainnya tidak tahu lagi. Para mandor pabrik seolah-olah sengaja merahasiakan nasib Iwil. Namun menurut kabar yang beredar, Iwil mendapat
ganti rugi lima juta rupiah dari perusahaan tempatnya bekerja. Terakhir, Mahmudin mendengar kabar, Iwil membuka usaha wartel di dekat terminal.
"Tiga tahun lalu Iwil dapat lima juta, berarti sekarang ganti ruginya bisa dua kali lipat, bahkan tiga kali lipat. Alangkah sedapnya." Mahmudin mengkhayal.
"Tapi, edan, betapa sakitnya."
"Mau enak kok takut sakit. Mengubah nasib selalu butuh kesakitan dan pengorbanan," pikirnya.
"Bagaimana kalau Gusti Allah marah karena berkah-Nya sengaja aku hancurkan."
"Ah, biar saja. Aku sudah muak dengan kemiskinan dan penderitaan. Muaaak!"
Siang itu deru mesin pabrik laksana lolongan anjing yang menggedor-gedor telinga Mahmudin. Tekadnya sudah bulat, menggilaskan jari-jari tangannya ke gerigi mesin. Demi uang kontrakan, demi Surindah, demi Tini yang sebentar lagi melahirkan jabang bayi.
Mahmudin menatap sejenak gerigi mesin yang bergerak mirip komidi putar di tanah lapang depan kecamatan. Pandangannya pindah ke jari-jari tangan kanannya. Basah dan gemetar.
"Apa boleh buat. Inilah saatnya mengubah nasib!"
Dia maju selangkah. Pelan-pelan dia katupkan mata, seperti terpidana mati di tiang eksekusi menunggu aba-aba sehingga jari-jari itu kemudian masuk ke gerigi mesin yang berputar.
Langit koyak oleh lolongan Mahmudin. Darah muncrat ke baju, wajah, dan lantai. Dalam kesakitan tiada terkira itu, Mahmudin sempat melihat serpihan tulang, daging yang sebagian terbawa putaran mesin. Langit makin mendung. Gulita tiba-tiba.
Mahmudin mendapati dirinya terbaring di dipan berseprai. Sekujur badannya nyeri. Tulang-tulang serasa remuk. Tidak ada siapa-siapa. Tapi Mahmudin tahu, dia berada di kamar rumah sakit. Dia perhatikan telapak tangan kanannya terbungkus
perban. Ngilu luar biasa.
"Ah, hilang empat jari rupanya," Mahmudin mendesah.
"Selamat malam, Pak Mahmudin." Seorang manajer perempuan masuk membawa seikat bunga yang dibungkus plastik transparan.
"Ibu Suci . . . Selamat malam, Bu." Mahmudin tergagap.
"Saya atas nama manajemen dan perusahaan turut prihatin atas musibah ini. Saya berharap dan berdoa, Pak Mahmudin lekas sembuh dan tabah," kata Ibu Suci setelah mengambil kursi dan duduk di tepi pembaringan.
"Terima kasih, Bu. Tapi bagaimana nasib saya selanjutnya?"
"Maksud Pak Mahmudin?"
"Ehm, itu Bu, soal ganti rugi empat jari tangan kanan saya yang tergilas mesin," Mahmudin memberanikan diri.
Ibu Suci terdiam sejenak.
"Begini, sore tadi para manajer mengadakan rapat sehubungan musibah ini. Keputusannya, dengan sangat menyesal perusahaan hanya bisa menanggung biaya pengobatan sampai Pak Mahmudin sembuh. Tidak ada ganti rugi karena perusahaan sedang kesulitan uang. Saya harap Pak Mahmudin mengerti."
"Apa?"
Mendengar kabar itu, pendengaran Mahmudin seperti ditusuk besi panas. Dia melompat. Ototnya menegang, giginya gemeretak, dada terasa hendak meledak. Tangan kirinya menyambar bungkus bunga,
lalu dia lemparkan sekuat tenaga ke wajah Ibu Suci yang berteriak-teriak minta tolong. Perawat, dokter, dan satpam berdatangan. Mereka berusaha menenangkan Mahmudin. Namun Mahmudin meronta, meludah, dan memuntahkan segala sumpah serapah, sampai-sampai dia merasa tenaganya
terkuras habis. Pandangan berkunang-kunang, lalu gulita. Mahmudin pingsan.
Pada malam itu, bulan di atas rumah sakit tunduk menutup wajahnya. Mungkinkah dia sedang menangis untuk Mahmudin?
Sumber: Kilau Sebuah Cincin, 2006
Oleh: Edi Warsidi

1 komentar:

  1. Cerpen ini bagus juga sebagai bahan bacaan sebab mengisahkan tentang seorang buruh pabrik yang benar-benar dilanda kebimbangan dalam kehidupannya terutama masalah rumah tangganya

    BalasHapus